Open top menu
SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 177



SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 177

لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَـكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّآئِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُواْ  
وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاء والضَّرَّاء وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَـئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

 Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (kebajikannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.


1). Kebenaran sebagai kebenaran, atau الْحَقّ (al-haqq), tidak membutuhkan kepada sesuatu di luar dirinya, karena kebenaran sendiri sudah merupakan hujjah (argumentasi) atas dirinya dan tidak butuh lagi hujjah dari luar. Justru yang di luar ‘sana’-lah yang membutuhkan kebenaran sebagai hujjah untuk melegalisasi keberadaan dirinya. Ada yang mengatakan bahwa kebenaran itu tidak memihak. Itu ada benarnya, kalau yang dimaksud memihak ialah kepada sesuatu di luar ‘sana’. Kebenaran harus (bahkan secara otomatis) memihak; yaitu memihak kepada dirinya. Itu sebabnya kebenaran tidak punya sisi-sisi, tidak punya “muka” yang terikat pada suatu arah tertentu. Kebenaran bagai bola kristal, yang jika dilihat dari sisi manapun tetap sama—tidak ada istilah tampak depan, tampak belakang, tampak samping, tampak atas, dan tanpak bawah. Kebenaran tidak mengenal perspektif atau sudut pandang. Nah, apabila kebenaran termanifestasi menjadi perbuatan (sikap, tindakan, dan perkataan), maka perbuatan tersebut disebut الْبِرّ (al-birr, kebajikan), pelakunya disebut الأبْرَار (al-abrār). Sehingga bisa dirumuskan begini: الْحَقّ (al-haqq) bersama الأبْرَار (al-abrār) dan الأبْرَار (al-abrār) bersama الْحَقّ (al-haqq). Itu sebabnya, الْبِرّ (al-birr, kebajikan) sebagai manifestasi dari الْحَقّ (al-haqq) dan perbuatan dari الأبْرَار (al-abrār), tidak mengenal istilah “timur” dan “barat”: لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ (laysal-birra an tuwallŭ wujŭɦakum qibalal-masyriqi wal-maghribi, bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan). Dengan demikain الْبِرّ (al-birr) adalah jelmaan dari nilai-nilai kemanusiaan sejati yang bersifat universal. “Sekali-kali tidak, sesungguhnya kitab orang-orang yang berbuat kebajikan itu (tersimpan) dalam ‘Illiyyin. Tahukah kamu apakah ‘Illiyyin itu? (Yaitu) kitab yang bertulis. Yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada Allah). Sesungguhnya orang yang berbuat kebajikan itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar (surga). Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya). Laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (83:18-26)

2). Ini pertemun kita yang kedua dengan kata الْبِرّ (al-birr), setelah sebelumnya di ayat 44. Karena الْبِرّ (al-birr) tidak terikat pada suatu arah tertentu, juga tidak memihak kepada sudut pandang tertentu, maka ia tidak bisa disifati oleh arah dan sudut pandang seperti itu. Sebagai suatu perbuatan, الْبِرّ (al-birr) mempunyai karakterya sendiri, yang bersifat universal, sebagaimana universalitas الْحَقّ (al-haqq). Kata وُجُوهَ (wujŭɦun,wajah-wajah)—yang merupakan bentuk jamak dari kata وَجْه (wajɦun, wajah)—di ayat ini pasti bukanlah dalam pengertiannya yang harafiah (muka-kepala) seperti pengertian yang kita temukan di ayat 144 dan 150. Pengertian “wajah” di sini sama dengan yang kita temukan sebelumnya di ayat 112; yaitu “totalitas diri atau totalitas hidup yang diwakili oleh jiwa manusia seutuhnya”. Hal yang sama terjadi pada kata الْمَشْرِق (al-masyriq, timur) dan الْمَغْرِب (al-maghrib, barat), juga tidak dalam pengertian hitam-putihnya, tetapi dalam pengertian simboliknya seperti yang kita temukan di ayat 115: وَلِلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ (wa lillaɦil-masyriqu wal-maghribu, dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat). Apapun yang ada di timur dan barat adalah milik Allah dan bukan Allah itu sendiri. Maka suatu perbuatan yang dilakukan demi mendapatkan (atau menghadapkan ‘wajah’ untuk menggapai) apa yang ada di timur dan barat (dalam bentuk benda-benda atau kedudukan, kesenangan atau kehormatan) tidak bisa disebut الْبِرّ (al-birr). Karena الْبِرّ (al-birr) bukanlah perbuatan baik biasa. “Janganlah kalian jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah (perdamaian) di antara manusia. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (2:224)

3). Kalau bukan perbuatan baik biasa, lalu apa kiranya الْبِرّ (al-birr) itu? Disebut الْبِرّ (al-birr) manakala perbuatan baik itu dilakukan oleh orang yang memiliki ciri-ciri berikut ini. Pertama, آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ (āmana billāɦi wal-yawmil-ākhiri wal-malāikati wal-kitābi wan-nabiyyĭna, beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi). Jadi syarat pertama yang harus dimiliki pelaku ialah IMAN. Tanpa iman, sebaik apappun kelihatannya di mata manusia perbuatan baik itu tetap tidak bisa disebut الْبِرّ (al-birr). Dan iman yang dimaksudkan di sini adalah iman dalam pengertiannya yang menyeluruh. Cermati misalnya kata النَّبِيِّينَ (an-nabiyyĭna, nabi-nabi), ini bentuk jamak; artinya, harus mengimani seluruh nabi tanpa kecuali, dari yang pertama hingga yang terakhir. Menolak salah satunya berarti sama dengan menolak semuanya, yang juga berarti batalnya iman dari pelaku tersebut. Yang menarik untuk disimak ialah kata الْكِتَابِ (al-kitābi, Kitab Suci); ini adalah bentuk tunggal, sementara الْمَلآئِكَةِ (wal-malāikati, malaikat-malaikat) dan النَّبِيِّينَ (an-nabiyyĭna, nabi-nabi) keduanya dalam bentuk jamak—karena pada faktanya nabi dan malaikat memang banyak jumlahnya. Tapi bukankah pada faktanya Kitab Suci samawi (yang berasal dari Allah) juga banyak? Bahkan di ayat lain pun disyaratkan beriman kepada semua Kitab Suci, misalnya 2:185 dan 4:136—di kedua ayat itu digunakan kata كُتُب (kutub, Kitab Suci-Kitab Suci) yang merupakan bentuk jamak dari كِتَاب (kitāb, Kitab Suci)? Apakah berarti khusus untuk الْبِرّ (al-birr) cukup mengimani satu Kitab Suci saja? Jawabannya: ya. Dengan catatan, yang diimani ialah Kitab Suci yang terakhir, karena yang terakhir sudah pasti juga memuat semua ajaran Kitab Suci-Kiba Suci sebelumnya yang oleh Allah dipandang masih relevan. Dan karena الْبِرّ (al-birr) adalah kebajikan yang sempurna, maka seyogyanya juga merupakan implementasi dari isi Kitab Suci yang sempurna. “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Kitab Suci yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta Kitab Suci yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (4:136)

4). Kedua, آتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّآئِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ [ātal-māla ‘alā hubbiɦi dzawil-qurbā wal-yatāma wal-masākĭn wabnas-sabĭl was-sāilĭna wa fĭr-riqābi, memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya]. Titik tekan penggalan ayat ini ada pada kata آتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ (ātal-māla ‘alā hubbiɦi, memberikan harta yang dicintainya). Coba bandingkan dengan ayat berikut ini: “Sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum menginfakkan sebahagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kalian infakkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (3:92) Lalu apa saja yang masuk kategori “harta yang dicintainya” itu? Allah sendiri yang menjawabnya di ayat lain: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (3:14) Karena yang dimaksud Allah di ayat 177 ini harta, maka kandungan 3:14 ini juga harus kita batasi pada harta benda. Yaitu: dari jenis emas, perak, kuda pilihan (kendaraan), binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Tentu tidak harus secara harafiah seperti itu. Bisa saja sesuatu yang dicintai itu bentuknya sangat sederhana di mata orang yang berkecukupan, tapi sangat berharga bagi mereka yang hidupnya pas-pasan—misalnya makanan: “Dan mereka memberikan makanan yang dicintainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.” (76:8). Kemudian seperti apa wujud nyata dari sikap memberikan harta yang dicintai itu? Allah juga menjelaskannya di suatu ayat: “Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (59:9)

5). Ketiga, أَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ (aqāmash-shalāta wa ātaz-zakāta, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat). Dua hal ini sering menempati posisi berdampingan di dalam al-Qur’an dengan urutan yang selalu sama (salat baru zakat). Salat adalah tiang agama. Yang berarti semua konsep pembangunan, penegakan, dan pengembangan agama harus bermula dari konsep salat, dari tingkat individu hingga ke tingkat ummah. Sementara untuk kegiatan-kegiatan itu—di semua level—dana menjadi niscaya. Agama tidak bisa tegak tanpa dukungan finansial, karena agama terdiri dari sejumlah aktivitas yang membutuhkan biaya. Apabila tidak punya mekanisme internal dalam mengatasi masalah finansial, agama akan “mengemis” (mungkin tidak dengan tangan tapi dengan proposal) kepada unsur-unsur di luar dirinya. Celakanya lagi kalau unsur luar tersebut justru sebuah kekuatan besar yang tengah berusaha untuk menghancurkan agama (dengan menyamarkan diri sebagai juru selamat), atau paling tidak bagian dari sindikat kekuasaan yang berusaha menaklukkan umat dan menguasai kekayaan bangsa dan negaranya. Zakat adalah metode Ilahi mengatasi masalah tersebut. Secara spiritual, zakat juga merupakan ibadahnya harta sementara salat ibadahnya “diri” (tubuh, jiwa, dan pikiran). Al-Qur’an berkali-kali mengajak orang beriman untuk berkorban dengan “diri” dan hartanya. Salat membuat kita menyatu dengan-Nya, zakat membuat kita berpisah dengan selain-Nya. Dengan demikian, salat dan zakat di sini tak sekedar dalam maknanya yang paling awam, tetapi dalam pengertian “amal kebajikan spiritual dan sosial demi tegaknya tatanan ummah yang satu dan solid”. (Lihat juga pembahasan soal salat dan zakat ini di ayat 43, 83, dan 110). “Dan berjihadlah kalian pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kalian dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untukmu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (al-Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kalian semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kalian pada tali Allah (yakni, jangan bercerai-berai). Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (22:78)

6). Keempat, الْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُواْ (al-mŭfŭna bi’aɦdiɦim idzā ‘āɦadŭ, orang-orang yang menepati janjinya apabila mereka berjanji). Kata عَهْد (aɦd) telah kita bahas di ayat 27, 40, 80, dan ayat 100, sedangkan kata عَاهَدُواْ (‘āɦadŭ)—bentuk kata kerja lampaunya dengan pelaku jamak—adalah perjumpaan kita yang kedua setelah sebelumnya di ayat 100. Bahwa kata عَهْد (aɦd) bukan sembarang janji, melainkan janji yang berkenaan dengan keikutsertaan dalam tugas ketuhanan (amanah), kenabian (nubuwah) dan kepemimpinan (imamah), yang pelaksanaannya menjadi syarat bagi Allah dalam memenuhi janjinya kepada orang beriman. Ingat betapa Allah mengingatkan Bani Israil berkenaan dengan janji semacam ini: وَأَوْفُواْ بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ [wa awfŭ bi’aɦdĭ ŭwfi bi’aɦdĭkum, dan penuhilah ‘aɦd/janji(-mu kepada)-Ku niscaya Kupenuhi juga ‘aɦd/janji-Ku kepadamu] (2:40). Ini tentu tak saja berlaku bagi wangsa keturunan Nabi Ya’qub as, tapi juga berlaku bagi para pelaku الْبِرّ (al-birr). Pertanyaannya: bisakah janji dalam pengertian عَهْد (aɦd) ini juga diterapkan kepada janji dengan sesama manusia? Menurut logika, tentu saja bisa. Karena apabila seseorang memenuhi janjinya dengan Tuhannya berarti pasti lebih mudah lagi memenuhi janjinya dengan sesamanya. Sebaliknya, manakala janji kepada Tuhannya saja berani mereka ingkari atau khianati apatah lagi janjinya kepada sesama manusia. “Dan sesungguhnya mereka sebelum itu telah berjanji kepada Allah: ‘Mereka tidak akan berbalik ke belakang (mundur)’. Dan adalah perjanjian dengan Allah akan diminta pertanggungjawaban.... Di antara orang-orang mukmin itu ada yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya).” (33:15 dan 23)

7). Kelima, الصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاء والضَّرَّاء وَحِينَ الْبَأْسِ (ash-shābirĭna fĭl-ba’sā-i wadl-dlarrā-i wa hĭnal-ba’si, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan). Ini berarti tidak sembarang sabar. Padahal membincang tentang sabar yang biasa saja sudah kerap disela dengan celetukan seperti ini: “Ah, sabar itu tidak segampang mengatakannya.” Sabar yang biasa yang dimaksud itu ialah seperti dalam menghadapi keadaan kehilangan barang atau orang yang dicintai. Keadaan ini hanya insidentil, tidak berketerusan dalam rentang waktu yang menyita sebahagian umur. Lalu bagaimana pula dengan sabar yang dimaksud di dalam penggalan ayat ini, yang berurusan dengan keadaan yang berlangsung lama dan merusak segala-galanya. Kata al-Baghawĭ  dalam Tafsir Ma’ālimut Tanzĭl-nya, الْبَأْسَاء (al-ba’sā-i) itu maknanya الشدة والفقر (asy-syiddah wal-faqr, kesulitan hidup dan kefakiran), sementara ٱلضَّرَّآءِ (adl-dlarrā-i) bermakna المرض والزمانة (al-maradl waz-zamānah, penyakit dan bencana—diantaranya termasuk cacat seumur hidup), dan حِينَ الْبَأْسِ (hĭnal-ba’si) adalah القتال والحرب (al-qitāl wal-harb, peperangan dan permusuhan). Pelaku suatu kebaikan disebut الأبْرَار (al-abrār) bilamana yang bersangkutan telah melewati sebahagian dari usianya atau sejarahnya dengan menjalani berbagai musibah seperti itu, baik karena keadaan alam ataupun karena kezaliman politik. (Lihat juga pembahasan tentang sabar ini di ayat-ayat sebelumnya: ayat 45, ayat 153, dan 155). “Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena musibah yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (3:146)

8). Ada beberapa catatan kebahasaan yang menarik diperhatikan di dalam ayat ini. Satu, ada perubahan jumlah pelaku dari satu orang (bentuk tunggal) menjadi banyak orang (bentuk jamak). Dalam kasus penggunaan مَنْ (man), baik dalam bentuk syarthiyah (bersifat syarat—yang bermakna “barangsiapa”) atau dalam bentuk istifɦamiyah (pertanyaan tentang orang—yang bermakna “siapa”), serta maushŭlah (kata sambung—yang bermakna “orang yang”,) dan nakirah maushŭfah (pemilik sifat yang diduga—yang juga bermakna “orang yang”), selalu disertai oleh pelaku tunggal. Coba perhatikan kata آمَنَ (āmana, beriman), آتَى (āta, memberikan), dan أَقَامَ (aqāma, menegakkan), semuanya kata kerja berpelaku satu orang. Tiba-tiba muncul kata الْمُوفُونَ (al-mŭfŭna) dan kata الصَّابِرِينَ (ash-shābirĭna) yang keduanya merupakan kata benda (pelaku) bentuk jamak yang masing-masing berarti “orang-orang yang memenuhi atau menunaikan (janjinya)” dan “orang-orang yang sabar”. Kebetulankah ini? Tidak mungkin ada yang kebetulan di dalam Buku Mukjizat ini. Sebagaimana telah dimaklumi bahwa kata kerja selalu terkait dengan waktu, sementara kata benda tidak; sehingga bisa difahami bahwasanya sifat “memenuhi janji” dan “sabar”—untuk konteks الْبِرّ (al-birr)—sepertinya tak hanya merujuk kepada semua orang (yang imannya bisa naik turun seirama dengan waktu) tapi juga secara khusus kepada orang-orang atau pihak tertentu yang tidak pernah mengingkari عَهْد (aɦd)-nya walaupun menerima ancaman, intimidasi, dan bahkan pembunuhan atau pembantaian ala barbarian, serta menghadapi semua itu dengan penuh kesabaran. Dua, perhatikan kembali kata الْمُوفُونَ (al-mŭfŭna) dan kata الصَّابِرِينَ (ash-shābirĭna). Di kedua kata itu ada perbedaan yang mencolok. Pada yang pertama berakhir dengan ون (wawu dan nŭn) sedangkan pada yang kedua berakhir dengan ين (yā dan nŭn). Dalam kaidah Bahasa Arab, biasanya kata benda (jamak) yang berakhir dengan ون (wawu dan nŭn) berposisi sebagai subjek, sementara yang berakhir dengan ين (yā dan nŭn) berposisi sebagai objek (atau terkenai pekerjaan). Tetapi, ganjilnya, karena kata الصَّابِرِينَ (ash-shābirĭna) di sini jelas tidak berposisi sebagai objek, melankan sebagai subjek, sama seperti الْمُوفُونَ (al-mŭfŭna). Pasti ada hikmahnya. Pelajaran yang barangkali bisa kita ambil di situ ialah bahwa kesabarannya itu dipaksa oleh keadaan yang sengaja ditimpakan kepadanya. Seperti dikatakan tadi, boleh jadi karena keteguhannya berpegang kepada عَهْد (aɦd)-nya, maka pihak penguasa atau kelompok arogan menerapkan ancaman, intimidasi, dan bahkan pembunuhan atau pembantaian ala barbarian kepada diri dan keluarganya. Sehingga, posisinya dalam kalimat adalah sebagai subjek, tapi keadaan sabarnya adalah sebagai objek. Tiga, kata الْمُوفُونَ (al-mŭfŭna) di ayat 177 ini adalah satu-satunya di dalam al-Qur’an. Kita tidak menemukannya lagi di tempat lain. Kata الصَّابِرِينَ (ash-shābirĭna) muncul 15 kali, tetapi yang ada di ayat 177 ini juga adalah satu-satunya yang mempunyai posisi seperti ini. Selebihnya, semuanya berada dalam posisi sebagai objek atau di dahului oleh kata depan (harfu jār). “Demi Kitab Suci (al-Qur'an) yang menerangkan. Sesungguhnya Kami menjadikan al-Qur'an sebagai bacaan berbahasa Arab supaya kalian menggunakan akal (dalam memahaminya). Dan sesungguhnya al-Qur'an itu (tertera) dalam induk Kitab Suci (Lauh Mahfuzh), (yang) di sisi Kami adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah.” (43:2-4)

9). Setelah merinci semua ciri-ciri yang harus ada pada pelaku الْبِرّ (al-birr) maka Allah kemudian menunjuk mereka dua kali. Satu, أُولَـئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا (ŭlāikal-ladzĭyna shadaqŭ, mereka itulah orang-orang yang benar); maksudnya “mereka itulah (yang memiliki ciri-ciri itu secara lengkap) yang masuk kategori benar perbuatan الْبِرّ (al-birr, kebajikan)-nya; atau, dalam pengertiannya yang paling luas, benar jalan hidupnya. Seakan Allah hendak mengesankan bahwa kurang salah satunya saja sudah berkategori tidak benar. Ini pasti ada hubungannya dengan ayat berikut ini: “Di antara orang-orang mukmin itu ada yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka (yang menepati janji itu) ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya).” (33:23). Dua, وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ (wa ŭlāika ɦumul muttaqŭn, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa). Allah menunjuk pelaku الْبِرّ (al-birr) beserta ciri-cirinya sebagai الْمُتَّقُونَ (al-muttaqŭn, orang-orang yang bertakwa), pasti ada kaitanya dengan ayat ini: “...Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah, (kelak akan) dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (7:128). Lalu mengapa Allah sampai dua kali menggunakan kata tunjuk (isim isyārah)? Mengapa tidak menyatukan saja objeknya di depan satu kata tunjuk? Agaknya ada korelasinya dengan ayat 166-167, ketika Allah menceritakan penyeselan orang-orang yang salah memilih pemimpin. Maka Allah hendak menegaskan kembali bahwa “mereka” itulah Khalifah Ilahi yang sesungguhnya yang pantas diikuti dan kelak tidak akan membuat pengikutnya menyesal; yang hanya memakan makanan yang halal dan thayyibah, dan tidak pernah mengikuti langkah-langkah setan (ayat 168); yang hanya mengikuti apa yang Allah turunkan (ayat 170), tidak menyembunyikannya apalagi menjualnya dengan harga yang sedikit (ayat 174); yang tidak pernah membeli kesesatan dengan petunjuk atau siksa dengan ampunan (ayat 175); sehingga tidak mungkin menjadikan isi Kitab Suci sebagai sumber perselisihan (ayat 176). “....Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (5:2)

10). Hadits Nabi saw.:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ أَبُو الْحَسَنِ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا الْأَوْزَاعِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَتْنِي عَمْرَةُ بِنْتُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ أَنْ يَعْتَكِفَ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ فَأَذِنَ لَهَا وَسَأَلَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَسْتَأْذِنَ لَهَا فَفَعَلَتْ فَلَمَّا رَأَتْ ذَلِكَ زَيْنَبُ ابْنَةُ جَحْشٍ أَمَرَتْ بِبِنَاءٍ فَبُنِيَ لَهَا قَالَتْ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى انْصَرَفَ إِلَى بِنَائِهِ فَبَصُرَ بِالْأَبْنِيَةِ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا بِنَاءُ عَائِشَةَ وَحَفْصَةَ وَزَيْنَبَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَالْبِرَّ أَرَدْنَ بِهَذَا مَا أَنَا بِمُعْتَكِفٍ فَرَجَعَ فَلَمَّا أَفْطَرَ اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ
[Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil Abu al-Hasan, telah mengabarkan kepada kami Abdullah, telah mengabarkan kepada kami al-Awza'iy berkata, telah menceritakan kepada saya Yahya bin Sa'id berkata, telah menceritakan kepada saya Amrah binti Abdurrahman dari Aisyah ra bahwa Rasulullah saw memberitahu bahwa beliau akan beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Lalu Aisyah ra meminta izin kepada beliau (untuk membuat bangunan atau tenda khusus) maka dia diijinkan. Kemudian Hafshah meminta Aisyah ra agar memintakan izin kepada beliau untuknya lalu dilakukan oleh Aisyah ra. Ketika melihat hal itu, Zainab binti Jahsyi memerintahkan pula untuk membuatkan tenda, maka tenda itu dibuat untuknya. Aisyah ra berkata: “Adalah Rasulullah saw bila telah selesai dari shalat, beliau kembali ke tempat khusus i'tikaf. Maka beliau melihat ada banyak tenda, lalu berkata: ‘Apa ini?’ Mereka menjawab: ‘Ini tenda-tenda milik Aisyah, Hafshah dan Zainab’. Maka Beliau bersabda: ‘Apakah mereka mengharapkan kebajikan dengan tenda-tenda ini? Aku tidak akan beri'tikaf’. Maka Beliau pulang ke rumah. Setelah Lebaran 'Iedul Fithri beliau i'tikaf sepuluh hari di bulan Syawal.”] (Shahih Bukhari no. 1904)
Read more
Kumpulan Hadits Sedekah


  1. Bersodaqoh pahalanya sepuluh, memberi hutang (tanpa bunga) pahalanya delapan belas, menghubungkan diri dengan kawan-kawan pahalanya dua puluh dan silaturrahmi (dengan keluarga) pahalanya dua puluh empat. (HR. Al Hakim)
  2. Yang dapat menolak takdir ialah doa dan yang dapat memperpanjang umur yakni kebajikan (amal bakti). (HR. Ath-Thahawi)
  3. Apabila anak Adam wafat putuslah amalnya kecuali tiga hal yaitu sodaqoh jariyah, pengajaran dan penyebaran ilmu yang dimanfaatkannya untuk orang lain, dan anak (baik laki-laki maupun perempuan) yang mendoakannya. (HR. Muslim)
  4. Allah Tabaraka wata’ala berfirman (di dalam hadits Qudsi): “Hai anak Adam, infaklah (nafkahkanlah hartamu), niscaya Aku memberikan nafkah kepadamu.” (HR. Muslim)
  5. Orang yang mengusahakan bantuan (pertolongan) bagi janda dan orang miskin ibarat berjihad di jalan Allah dan ibarat orang shalat malam. Ia tidak merasa lelah dan ia juga ibarat orang berpuasa yang tidak pernah berbuka. (HR. Bukhari)
  6. Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw, “Sodaqoh yang bagaimana yang paling besar pahalanya?” Nabi Saw menjawab, “Saat kamu bersodaqoh hendaklah kamu sehat dan dalam kondisi pelit (mengekang) dan saat kamu takut melarat tetapi mengharap kaya. Jangan ditunda sehingga rohmu di tenggorokan baru kamu berkata untuk Fulan sekian dan untuk Fulan sekian.” (HR. Bukhari)
  7. Barangsiapa ingin doanya terkabul dan dibebaskan dari kesulitannya hendaklah dia mengatasi (menyelesaikan) kesulitan orang lain. (HR. Ahmad)
  8. Jauhkan dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan (sodaqoh) sebutir kurma. (Mutafaq’alaih)
  9. Turunkanlah (datangkanlah) rezekimu (dari Allah) dengan mengeluarkan sodaqoh. (HR. Al-Baihaqi)/menjemput rezeki
  10. Bentengilah hartamu dengan zakat, obati orang-orang sakit (dari kalanganmu) dengan bersodaqoh dan persiapkan doa untuk menghadapi datangnya bencana.(HR. Ath-Thabrani) /penolak bala/menyembuhkan penyakit
  11. Tiada seorang bersodaqoh dengan baik kecuali Allah memelihara kelangsungan warisannya. (HR. Ahmad)
  12. Naungan bagi seorang mukmin pada hari kiamat adalah sodaqohnya. (HR. Ahmad)
  13. Tiap muslim wajib bersodaqoh. Para sahabat bertanya, “Bagaimana kalau dia tidak memiliki sesuatu?” Nabi Saw menjawab, “Bekerja dengan ketrampilan tangannya untuk kemanfaatan bagi dirinya lalu bersodaqoh.” Mereka bertanya lagi. Bagaimana kalau dia tidak mampu?” Nabi menjawab: “Menolong orang yang membutuhkan yang sedang teraniaya” Mereka bertanya: “Bagaimana kalau dia tidak melakukannya?” Nabi menjawab: “Menyuruh berbuat ma’ruf.” Mereka bertanya: “Bagaimana kalau dia tidak melakukannya?” Nabi Saw menjawab, “Mencegah diri dari berbuat kejahatan itulah sodaqoh.” (HR. Bukhari dan Muslim)
  14. Apa yang kamu nafkahkan dengan tujuan keridhoan Allah akan diberi pahala walaupun hanya sesuap makanan ke mulut isterimu. (HR. Bukhari)
  15. Sodaqoh paling afdhol ialah yang diberikan kepada keluarga dekat yang bersikap memusuhi. (HR. Ath-Thabrani dan Abu Dawud)
  16. Satu dirham memacu dan mendahului seratus ribu dirham. Para sahabat bertanya, “Bagaimana itu?” Nabi Saw menjawab, “Seorang memiliki (hanya) dua dirham. Dia mengambil satu dirham dan bersodaqoh dengannya, dan seorang lagi memiliki harta-benda yang banyak, dia mengambil seratus ribu dirham untuk disodaqohkannya. (HR. An-Nasaa’i)
  17. Orang yang membatalkan pemberian (atau meminta kembali) sodaqohnya seperti anjing yang makan kembali muntahannya. (HR. Bukhari)
  18. Barangsiapa diberi Allah harta dan tidak menunaikan zakatnya kelak pada hari kiamat dia akan dibayang-bayangi dengan seekor ular bermata satu di tengah dan punya dua lidah yang melilitnya. Ular itu mencengkeram kedua rahangnya seraya berkata, “Aku hartamu, aku pusaka simpananmu.” Kemudian nabi Saw membaca firman Allah surat Ali Imran ayat 180: “Dan janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi.” (HR. Bukhari)
  19. Tiada suatu kaum menolak mengeluarkan zakat melainkan Allah menimpa mereka dengan paceklik (kemarau panjang dan kegagalan panen). (HR. Ath-Thabrani)
  20. Barangsiapa memperoleh keuntungan harta (maka) tidak wajib zakat sampai tibanya perputaran tahun bagi pemiliknya. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Penjelasan:
Perhitungan perputaran tahun (haul) untuk menunaikan zakat ialah dengan tahun Hijriyah.
  1. Tentang sodaqoh yang seakan-akan berupa hadiah, Rasulullah Saw bersabda: “Baginya sodaqoh dan bagi kami itu adalah hadiah.” (HR. Bukhari)
  2. Allah Ta’ala mengharamkan bagiku dan bagi keluarga rumah tanggaku untuk menerima sodaqoh. (HR. Ibnu Saad)
Penjelasan:
Nabi Saw menolak menerima sodaqoh tetapi mau menerima hadiah.
  1. Tidak ada iri hati kecuali terhadap dua perkara, yakni seorang yang diberi Allah harta lalu dia belanjakan pada sasaran yang benar, dan seorang diberi Allah ilmu dan kebijaksaan lalu dia melaksanakan dan mengajarkannya. (HR. Bukhari)
  2. Allah mengkhususkan pemberian kenikmatanNya kepada kaum-kaum tertentu untuk kemaslahatan umat manusia. Apabila mereka membelanjakannya (menggunakannya) untuk kepentingan manusia maka Allah akan melestarikannya namun bila tidak, maka Allah akan mencabut kenikmatan itu dan menyerahkannya kepada orang lain. (HR. Ath-Thabrani dan Abu Dawud)
  3. Abu Dzarr Ra berkata bahwa beberapa sahabat Rasulullah Saw berkata, “Ya Rasulullah, orang-orang yang banyak hartanya memperoleh lebih banyak pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat dan berpuasa sebagaimana kami berpuasa dan mereka bisa bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Nabi Saw lalu berkata, “Bukankah Allah telah memberimu apa yang dapat kamu sedekahkan? Tiap-tiap ucapan tasbih adalah sodaqoh, takbir sodaqoh, tahmid sodaqoh, tahlil sodaqoh, amar makruf sodaqoh, nahi mungkar sodaqoh, bersenggama dengan isteri pun sodaqoh.” Para sahabat lalu bertanya, “Apakah melampiaskan syahwat mendapat pahala?” Nabi menjawab, “Tidakkah kamu mengerti bahwa kalau dilampiaskannya di tempat yang haram bukankah itu berdosa? Begitu pula kalau syahwat diletakkan di tempat halal, maka dia memperoleh pahala. (HR. Muslim)
  4. Tiap-tiap amalan makruf (kebajikan) adalah sodaqoh. Sesungguhnya di antara amalan makruf ialah berjumpa kawan dengan wajah ceria (senyum) dan mengurangi isi embermu untuk diisikan ke mangkuk kawanmu. (HR. Ahmad)
sumber: 1100 Hadits Nabi SAW Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) -
Karya Dr. Muhammad Faiz Almath – Gema Insani Press:

Read more
Ali Bin Abi Tholib


Ali bin Abi Thalib adalah orang yang paling awal memeluk agama Islam (assabiqunal awwalun), sepupu Rasullullah Saw., dan juga khalifah terakhir dalam kekhalifahan Kulafaur Rasyidin menurut pandangan Sunni. Namun bagi Islam Syiah, Ali adalah khalifah pertama dan juga imam pertama dari 12 imam Syiah.
Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 600 Masehi. Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib. Namun Rasullullah Saw. tidak menyukainya dan memanggilnya Ali yang berarti memiliki derajat yang tinggi di sisi Allah.

Ketika Rasullullah Saw. mulai menyebarkan Islam, Ali saat itu berusia 10 tahun. Namun ia mempercayai Rasullullah Saw. dan menjadi orang yang pertama masuk Islam dari golongan anak-anak. Masa remajanya banyak dihabiskan untuk belajar bersama Rasullullah sehingga Ali tumbuh menjadi pemuda cerdas, berani, dan bijak. Jika Rasullullah Saw. adalah gudang ilmu, maka Ali ibarat kunci untuk membuka gudang tersebut

Saat Rasullullah Saw. hijrah, beliau menggantikan Rasullullah tidur di tempat tidurnya sehingga orang-orang Quraisy yang hendak membunuh Nabi terpedaya. Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali dinikahkan Nabi dengan putri kesayangannya Fatimah az-Zahra.
Ali tidak hanya tumbuh menjadi pemuda cerdas, namun juga berani dalam medan perang. Bersama Dzulfikar, pedangnya, Ali banyak berjasa membawa kemenangan di berbagai medan

perang seperti Perang Badar, Perang Khandaq, dan Perang Khaibar.
Setelah wafatnya Rasullullah, timbul perselisihan perihal siapa yang akan diangkat menjadi khalifah. Kaum Syiah percaya Nabi Muhammad telah mempersiapkan Ali sebagai khalifah. Tetapi Ali dianggap terlalu muda untuk menjabat sebagai khalifah. Pada akhirnya Abu Bakar yang diangkat menjadi khalifah pertama.
Setelah terbunuhnya Utsman bin Affan, keadaan politik Islam menjadi kacau. Atas dasar tersebut, Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah mendesak agar Ali segera menjadi khalifah. Ali kemudian dibaiat beramai-ramai, menjadikannya khalifah pertama yang dibaiat secara luas. Namun kegentingan politik membuat Ali harus memikul tugas yang berat untuk menyelesaikannya.
Perang saudara pertama dalam Islam, Perang Siffin pecah diikuti dengan merebaknya fitnah seputar kematian Utsman bin Affan membuat posisi Ali sebagai khalifah menjadi sulit. Beliau meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami shalat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.
Selanjutnya kursi kekhalifahan dipegang secara turun temurun oleh keluarga Bani Umayyah dengan khalifah pertama Muawiyah. Dengan demikian berakhirlah kekhalifahan Kulafaur Rasyidin. 




Read more
Konfirmasi





Untuk konfirmasi Donasi anda silahkan kirim E-mail ke rumahsedekahku@gmail.com
Dengan format
Nama      : 
Jumlah    :
Domisili  :

Read more
Nabi Muhammad SAW

Nabi Muhammad saw berasal dari kabilah Quraisy, tepatnya keturunan Hasyim.
Ayah beliau adalah Abdullah bin Abdul Muthalib, cucu Hasyim. Ibunda beliau adalah Aminah binti Wahb yang berasal dari keturunan Bani Zuhrah, salah satu kabilah Quraisy. Setelah menikah, Abdullah melakukan pepergian ke Syam. Ketika pulang dari pepergian itu, ia wafat di Madinah dan dikuburkan di kota itu juga. Setelah beberapa bulan dari wafatnya sang ayah berlalu, Nabi pamungkas para nabi lahir di bulan Rabi’ul Awal, tahun 571 Masehi di Makkah, dan dengan kelahirannya itu, dunia menjadi terang- benderang. Sesuai dengan kebiasaan para bangsawan Makkah, ibundanya menyerahkan Muhammad kecil kepada Halimah Sa’diyah dari kabilah Bani Sa’d untuk disusui. Beliau tinggal di rumah Halimah selama empat tahun. Setelah itu, sang ibu mengambilnya kembali. Dengan tujuan untuk berkunjung ke kerabat ayahnya di Madinah, sang ibunda membawanya pergi ke Madinah.
Dalam perjalanan pulang ke Makkah, ibundanya wafat dan dikebumikan di Abwa`, sebuah daerah yang terletak antara Makkah dan Madinah. Setelah ibunda beliau wafat, secara bergantian, kakek dan paman beliau, Abdul Muthalib dan Abu Thalib memelihara beliau. Pada usia dua puluh lima tahun, beliau menikah dengan Khadijah yang waktu itu sudah berusia empat puluh tahun. Beliau menjalani hidup bersamanya selama dua puluh lima tahun hingga ia wafat pada usia enam puluh lima tahun.
Pada usia empat puluh tahun, beliau diutus menjadi nabi oleh Allah. Ia mewahyukan kepada beliau al-Quran yang seluruh manusia dan jin tidak mampu untuk menandinginya. Ia menamakan beliau sebagai pamungkas para nabi dan memujinya karena kemuliaan akhlaknya.
Beliau hidup di dunia ini selama enam puluh tiga tahun. Menurut pendapat masyhur, beliau wafat pada hari Senin bulan Shafar 11 Hijriah di Madinah.
Bukti Kenabian Rasulullah saw Secara global, kenabian seorang nabi dapat diketahui melalui tiga jalan:
1. Pengakuan sebagai nabi.
2. Kelayakan menjadi nabi.
3. Mukjizat.
Pengakuan Sebagai Nabi Telah diketahui oleh setiap orang bahwa Rasulullah saw telah mengaku sebagai nabi di Makkah pada tahun 611 M., masa di mana syirik, penyembahan berhala dan api telah menguasai seluruh dunia. Hingga akhir usia, beliau selalu mengajak umat manusia untuk memeluk agama Islam, dan sangat banyak sekali di antara mereka yang mengikuti ajakan beliau itu. Kelayakan Menjadi Nabi
Maksud asumsi di atas adalah seorang yang mengaku menjadi nabi harus memiliki akhlak dan seluruh etika yang terpuji, dari sisi kesempurnaan jiwa harus orang yang paling utama, tinggi dan sempurna, dan terbebaskan dari segala karakterisitik yang tidak terpuji. Semua itu telah dimiliki oleh Rasulullah saw. Musuh dan teman memuji beliau karena akhlaknya, memberitakan sifat-sifat sempurna dan kelakuan terpujinya dan membebaskannya dari setiap karakterisitik yang buruk.
Kesimpulannya, akhlak beliau yang mulia, tata krama beliau yang terpuji, perubahan dan revolusi yang beliau cetuskan di seanterao dunia, khususnya di Hijaz dan jazirah Arab, dan sabda-sabda beliau yang mulia berkenaan dengan tauhid, sifat-sifat Allah, hukum halal dan haram, serta nasihat-nasihat beliau telah membuktikan kelayakan beliau untuk menduduki kursi kenabian, dan setiap orang yang insaf tidak akan meragukan semua itu.
Read more
Ahlan Wasahlan Terima Kasih Telah Berkunjung